Krisis Kepercayaan di Tengah Pandemi

Published by

on


Tanpa terasa, setahun telah berlalu sejak pertama kali dunia mengenal wabah Corona Virus Dissease atau yang lebih dikenal dengan nama Covid-19. Wabah yang pertama kali muncul dan menginfeksi puluhan ribu orang di Wuhan, China, dan akhirnya mewabah hingga ke seluruh dunia, membuat WHO menetapkan Covid-19 sebagai ‘Pandemi’. Menurut laporan WHO, hingga Februari 2021, lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Covid-19 dengan jumlah kematian mencapai 2,45 juta jiwa (sumber : JHU CSSE Covid-19).


Selain menginfeksi banyak orang, Covid-19 juga memberi dampak yg buruk bagi seluruh lapisan masyarakat. Semenjak jumlah kasus Covid-19 semakin meningkat, menyebabkan sejumlah daerah di Indonesia berstatus zona merah. Hal ini membuat pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Kantor, sekolah dan kampus diliburkan. Masyarakat diminta untuk bekerja dari rumah (work from home) dan belajar via online alias #dirumahsaja. Pertokoan dan mall dibatasi jam buka dan tutupnya, itupun dengan syarat hanya beberapa toko yg diperbolehkan buka, seperti toko bahan kebutuhan pokok dan warung makan/restaurant. Selebihnya, diwajibkan tutup demi menghindari penyebaran lebih luas.


Awalnya, PSBB hanya diberlakukan selama 2 minggu. Masyarakat diminta beraktivitas dari rumah, sembari pemerintah menyalurkan bantuan kebutuhan pokok untuk masyarakat. Akan tetapi, bukannya kasus Covid-19 berkurang, yang ada malah kasus semakin meningkat sehingga pemerintah memperpanjang masa PSBB yang tak terasa mencapai beberapa bulan.


Hal ini tentu saja memberikan dampak yang sangat berat untuk masyarakat. Banyak usaha yang terpaksa gulung tikar karena tidak adanya pemasukan dan mengalami kerugian yang cukup besar. Seperti yang dialami salah seorang sahabat yang memiliki usaha rumah makan yang cukup terkenal di area Pantai Losari. Sempat bertahan beberapa lama menghadapi pandemi, mulai dari mengurangi karyawan, hingga akhirnya tutup sepenuhnya karena tidak mampu menutupi biaya usahanya. Pas denger hal ini dari beliau, kaget banget. Soalnya rumah makan tersebut bisa dibilang salah satu rumah makan legend di Kota Makassar.
Selain itu, banyak perusahaan yang melakukan PHK secara besar-besaran hingga menyebabkan jumlah pengangguran meningkat drastis. Tak terkecuali saya yang menjadi bagian dari korban PHK Covid-19.

Terakhir kali, saya bekerja di salah satu Restaurant Chinese ternama di salah satu mall di Kota Makassar dan sedang dalam project opening. Sekitar 3 minggu sebelum opening, kasus Covid-19 pertama mulai menginjakkan kakinya di Indonesia. Awalnya kami masih bersikap biasa saja, seakan-akan Covid-19 tidak memberi dampak apapun. Semakin mendekati hari Opening, kasus Covid-19 semakin meningkat dan tentu saja memberi kekhawatiran. Hingga tiba hari H, semua tampak biasa-biasa saja. Namun beberapa hari setelah Opening, PSBB mulai diberlakukan. Masyarakat mulai membatasi keluar rumah yang menyebabkan omzet turun drastis. Sehari biasanya omzet mencapai puluhan juta, perlahan-lahan turun menjadi di bawah IDR 10 juta, hingga sampai kondisi dimana omzet dalam sehari kurang dari IDR 1 juta. Hal ini berakibat gaji kami dipotong hampir setengah, bonus tidak diterima, uang lembur menjadi loyalitas, dan jam kerja terpaksa di rolling menjadi seminggu kerja seminggu libur, demi menghindari pengurangan karyawan. Akan tetapi, semakin hari kondisi malah semakin memburuk hingga mau tidak mau, perusahaan harus melakukan pengurangan karyawan secara besar-besaran. Dari yang awalnya 30+ staf, hingga tersisa 12 staf untuk seluruh area.

Kondisi ini membuat saya dan rekan kerja menjadi kewalahan. Shift menjadi full time dan hanya libur sehari, gaji berkurang, dan tentu saja kondisi fisik makin drop karena kelelahan harus menghandle beberapa pekerjaan sekaligus. Belum selesai sampai disitu, perusahaan kembali melakukan pengurangan karyawan hingga hanya tersisa kurang dari 10 staf. Karena kelelahan dan terus menerus mendapat teguran dari orang tua karena kesehatanku menurun drastis, akhirnya saya memilih menjadi bagian dari ‘korban PHK Covid-19’ dan memilih beristirahat di rumah sembari membantu orang tua menjalankan usaha kuliner kecil-kecilannya di rumah.


Bukan hanya perihal kehilangan pekerjaan, Covid-19 juga memberikan rasa ketakutan luar biasa di sekeliling saya. Bukan hanya dari keluarga, tapi juga lingkungan sekitar. Kami yang dulunya cuek bebek soal kebersihan saat pulang ke rumah, malah makin memperketat protokol kesehatan. Selalu menggunakan masker saat keluar rumah ataupun pada saat sakit, mencuci tangan dengan sabun dan selalu membawa hand sanitizer, mandi dan mencuci baju saat baru pulang dari luar, serta menjaga jarak dan mengurangi aktivitas di keramaian.


Tapi, menjaga protokol kesehatan tidak menjamin Covid-19 tidak akan menginfeksi kita. Hal itu tidak berlaku bagi kedua sahabat saya. Kedua sahabat saya tersebut terinfeksi virus Covid-19 dengan status Orang Tanpa Gejala (OTG). Sahabat saya yang pertama seorang mahasiswa pasca berusia 23 tahun, sedang dalam proses pengerjaan tesis dan membantu kakaknya selepas melahirkan saat terinfeksi virus tersebut. Dia terkenal sangat menerapkan protokol kesehatan, tapi tanpa disangka dia terinfeksi tanpa ia sendiri tahu terinfeksi dimana dan oleh siapa hingga ia harus menjalani isolasi mandiri di salah satu hotel wisata Covid di kota Makassar.


Sahabat saya yang kedua, seorang tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit swasta di Makassar. Dia bertugas di departemen yang berbeda, namun semenjak pasien Covid-19 mulai di rawat di rumah sakit tersebut, ia pun dipindahkan ke satgas Covid-19 dan harus melakukan perawatan terhadap pasien yang terinfeksi. Awalnya semua berjalan biasa saja, dia juga disiplin menerapkan protokol kesehatan, melakukan isolasi mandiri saat tidak bertugas, bahkan tidak pernah keluar untuk sekedar ngumpul atau apapun. Sebulan kemudian ia mulai merasakan gejala ringan saat sedang melakukan rolling shift dan isolasi mandiri di rumah. Nafas yang agak sesak hingga demam ringan mulai ia rasakan. Awalnya dia mengira itu gejala penyakit yg memang ia derita. Namun saat melakukan rapid tes ke rumah sakit tempat ia bekerja, hasil rapidnya reaktif dan saat itu juga ia langsung melakukan isolasi mandiri di rumah sakit dan mendapat perawatan meskipun ia hanya menderita gejala ringan dan memiliki komorbid atau penyakit bawaan yang bisa saja memperparah kondisinya.

Alhamdulillah, kedua sahabat saya tersebut berhasil sembuh dan mulai beraktivitas dengan normal. Bahkan mereka mendonorkan sel plasma konvalesen mereka kepada yang membutuhkan.
Tidak semua penyintas Covid-19 seberuntung kedua sahabat saya tersebut yang bisa sembuh. Banyak pasien yang meninggal karena gejala berat ataupun saturasi okesigen mereka yang tiba-tiba menurun (happy hipoxia). Akan tetapi, bukan berarti semua dampak Covid-19 ini membuat masyarakat semakin waspada dan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Banyaknya isu yang beredar di masyarakat bahwa Covid-19 hanyalah bualan/tidak pernah ada dan hanya cara beberapa pihak tertentu untuk menghasilkan uang. Hal ini tentu saja menimbulkan perdebatan dan membuat masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap Covid-19.

Ada beberapa hal yang saya rangkum tentang krisis kepercayaan masyarakat terhadap Covid-19 berdasarkan pengalaman saya selama Pandemi Covid-19 ini.


  1. Krisis kepercayaan terhadap Pandemi
    Kasus Covid-19 di Indonesia semakin meningkat, namun bukan berarti masyarakat semakin waspada dan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Perasaan jenuh karena di rumah terus dan keharusan mencari nafkah untuk membuat dapur tetap mengebul, membuat masyarakat kembali beraktivitas seperti biasa. Kembali bekerja, liburan, berjalan-jalan bahkan nongkrong dan mengadakan pesta meskipun mereka tetap menerapkan protokol kesehatan. Hal yang sama juga berlaku di lingkungan sekitarku. Akan tetapi, Harapan agar kurva Covid-19 semakin melandai, yang ada malah semakin melambung tinggi. Wisma atlet, hotel-hotel wisata Covid-19, rumah sakit mendadak penuh dengan pasien OTG ataupun bergejala berat. Bahkan banyak rumah sakit yang kolaps karena pasien penuh dan tenaga kesehatannya kelelahan bahkan banyak yang terinfeksi hingga memakan korban jiwa. Masih banyaknya masyarakat meyakini bahwa Covid-19 hanyalah isapan jempol dan hanya berupa flu biasa membuat kondisi Indonesia masih jauh dari kata ‘sembuh’. Krisis kepercayaan itu juga menghampiri orang di sekitarku, terutama keluarga intiku sendiri. Banyaknya edukasi yang saya berikan tentang apa bahaya Covid-19 hanya membuat mereka mendebat setiap ucapan saya dan menganggap saya sok pintar, hanya karena sebuah statement yang pernah mereka dengar. Capeeeek euy nasehatin keluarga sendiri, yang ada malah dimaki-maki.
  2. Krisis kepercayaan terhadap Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan dan Pemerintah
    Jika keluarga saya tidak terlalu percaya akan adanya Covid-19, bukan tanpa sebab. Hal ini dikarenakan sebuah statement yang terlontar dari mulut seorang rekan adik saya, seorang staf yang bekerja di sebuah rumah sakit. Entah apa penyebabnya ia beranggapan bahwa Covid-19 itu tidak ada, bukan penyebab kematian dan menjadi salah satu lahan yang ‘menghasilkan’. Bukannya mendebat statement tersebut, adik saya malah percaya dan malah menyampaikan hal yang sama kepada orang rumah. Ditambah banyaknya isu-isu dan berita hoax dari sosial media, membuat orang rumah semakin percaya dengan statement tersebut, bahkan saya sampai capek sendiri untuk berdebat dengan mereka. Tapi, hal yang lucu adalah mereka tetap menerapkan protokol kesehatan dan merasa ketakutan mendengar kata rumah sakit.
    Hal ini terjadi sebulan yang lalu, saat ibu saya tiba-tiba drop dan harus dilarikan ke UGD. Berhubung tepat di depan rumah adalah rumah sakit rujukan pasien Covid-19, keluarga saya lebih memilih membawa ibu ke klinik depan rumah juga. Karena mengalami sesak nafas yg lumayan berat, ibu sempat dikira mengalami gejala Covid-19. Alhamdulillah ternyata ibu negatif. Karena takut memeriksakan diri ke rumah sakit karena sesak nafasnya, ibu memilih berobat ke dokter praktek. Dan dari 3 dokter praktek yang dikunjungi, dokter terakhirlah yang akhirnya mendiagnosa ibu menderita infeksi paru-paru karena kebiasaanya berada di tempat dingin dan diperparah dengan Gerd-nya membuat nafasnya menjadi sesak. Semestinya ibu harus dirawat inap di rumah sakit karena kondisinya lumayan buruk, namun memilih dirawat jalan di rumah dengan selang infus menempel di tangan selama seminggu. Perawat dari klinik dan kakak sepupu yang juga perawat, yang bolak balik mengecek kondisi ibu. Selain karena yakin akan dipositifkan jika dirawat di rumah sakit, pengalaman keluarga kami terhadap rumah sakit dan Covid-19 juga menjadi trauma tersendiri.
    Pertengahan desember 2020, kakak laki-laki saya satu-satunya harus dilarikan ke rumah sakit. Almarhum mendapat penanganan di UGD dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah beberapa pemeriksaan sembari menunggu hasil CT-Scan dan Rotgen, pihak rumah sakit menyodorkan surat pernyataan persetujuan SWAB PCR kepada keluarga saya, tentu saja keluarga saya menolak karena ibu saya sedang dalam perjalanan dari luar kota dan juga krisis kepercayaan yang mereka alami. Apalagi, jika menandatangi surat pernyataan tersebut, almarhum otomatis dipositifkan dan di bawa ke zona isolasi. Jika surat tersebut ditanda tangani dan kakak saya tiba-tiba meninggal dunia, pihak rumah sakit secara otomatis akan melakukan pemulasaran secara Covid. Entah karena feeling seorang ibu yang begitu kuat kepada anaknya, pada saat tiba di rumah sakit dan menemui almarhum, ibu meminta saat itu juga almarhum dibawa pulang ke rumah dengan ucapan, “Bawa pulang mi kakakmu, Nak. Dak mi ini kakakmu, ndak lama mi.” Benar saja, tepat saat mobil yang membawa keluargaku tiba di rumah, almarhum meninggal di pangkuan ibu. Sekalipun menyakitkan, setidaknya ada kelegaan bagi kami sekeluarga karena almarhum bisa dimakamkan secara normal dan hasil lab-nya menyatakan kakak saya meninggal karena penyakit diabetes dan livernya.
    Tapi, 2 minggu kemudian, apa yang dialami nenek saya tidak seberuntung almarhum kakak saya. Tante dari ibu saya (nenek) yang masih cukup muda, dilarikan ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri dan mengalami stroke ringan. Setelah menjalani beberapa penangan, mulai ada sedikit perubahan pada beliau. Beberapa jam kemudian, pihak rumah sakit menyodorkan surat pernyataan persetujuan tes SWAB PCR agar nenek saya mendapatkan penanganan lanjutan dan karena merasa panik akhirnya surat pernyataan tersebut ditanda tangani oleh tante saya. Pagi harinya, belum sempat hasil lab tes nenek saya keluar, beliau meninggal dunia dan pada akhirnya beliau dimakamkan dengan protokol Covid-19. Hal yang sangat menyakitkan bagi keluarga tentu saja. Mereka akhirnya menerima dengan ikhlas kondisi tersebut.
  3. Krisis Kepercayaan Terhadap Vaksin Covid-19
    Pemerintah melakukan berbagai upaya menangani penularan Covid-19. Salah satunya dengan menyediakan jutaan dosis vaksin Sinovac asal China untuk masyarakat Indonesia. Vaksin Sinovac dipercaya 91,25 ℅ ampuh menangani virus Covid-19. Vaksin ini diharapkan memberikan kekebalan terhadap Covid-19 sehingga tercipta Herd Immunity di kalangan masyarakat.
    Vaksin ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Apalagi vaksin ini berasal dari negara Covid-19 berawal. Hal yang sama juga berlaku di keluarga saya. Lagi-lagi mereka tidak percaya soal vaksin tersebut. Apalagi isu yang beredar menyatakan bahwa vaksin tersebut berbahaya, ada chipnya lah, bisa bikin kena Covid lah, bisa bikin cacat hingga menyebabkan kematian. Yang paling lucu adalah vaksin tersebut bisa membuat orang menjadi kelelawar 😅.
    Nggak bisa dipungkiri sih, kalau keluarga saya dan sebagian besar masyakarat krisis kepercayaan terhadap vaksin tersebut. Ini dikarenakan kurangnya sosialisasi dan pemahaman tentang kandungan dan manfaat vaksin tersebut kepada masyarakat. Yang ada malah masyarakat seakan-akan diancam dengan denda jika menolak divaksin atau iming-iming dibiayai jika cacat atau meninggal jika divaksin. Weleh weleh, saya baca beritanya aja keder, Pakde.
    Tapi kalau saya ditanya “Mau nggak divaksin?”, dengan tegas saya akan menjawab, ” Iya, saya mau.”
    Bukan karena sok atau apa, melainkan saya yakin setidaknya vaksin tersebut bisa melindungi kita dari virus Covid-19. Apalagi teman-teman saya yang sudah divaksin 2 kali, kondisinya baik-baik saja, meski hanya sempat mengalami efek samping ringan setelah divaksin seperti sakit kepala, mual, atau pegal-pegal di badan. Selebihnya aman. Namun karena saya tidak memenuhi salah satu syarat bisa divaksin, mau tidak mau saya harus menunggu 1-2 tahun lagi untuk bisa divaksin. Semangat yah teman-teman, jangan takut divaksin. Belajar percaya untuk waspada.

#30DaysBlogChallenge #BPN30DaysChallenge2018 Aisyah Ra autumn in paris Blogger Blogger's Life Blogger Anging Mamiri Blogger Perempuan Network Blogging Cantik Cinta Subuh Cinta Subuh 2 Day 1 Day 2 Day 3 Day 4 day 5 day 6 Day 7 Day 8 Day 9 Day 10 Day 11 Day 12 day 13 Favorite Movie favorite song Four Season of Ilana Tan Happy Ied Mubarak Happy Mother's Day holiday Hujan Idul Fitri ilana tan Jodoh Makassar Blogger Mother's Day My Life New Pelangi Drama Nikah Rainbow's Family spring in london summer in seoul Taekwondo winter in tokyo

Tulisan ini diikutkan dalam <url=www.angingmammiri.org>#TantanganBlogAm2021</url>

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.